"WE ARE FOR YOU"

"WE ARE FOR YOU"
"KAMI ADA UNTUK ANDA"

Jumat, 25 Februari 2011

""Mewapadai Krisis Berulang""

Sejak runtuhnya perjanjian Bretton Woods tahun 1971 sampai dengan tahun 2008, telah terjadi lebih dari 96 krisis keuangan dan 176 krisis moneter, yang terjadi bukan karena kegagalan siklis atau manajerial, akan tetapi karena kegagalan struktural, terutama sistem uang dan moneter. Sedangkan Azis dalam Ascarya (2009) berpendapat bahwa akar penyebab krisis adalah ketidakseimbangan global dalam rekening lancar, investasi tabungan dan ekspor impor. Arus masuk modal di negara-negara surplus menyebabkan penggelembungan harga aset (asset price bubble) yang pastinya mengakibatkan krisis perbankan sistemik.

Gejolak krisis keuangan global telah mengubah tatanan perekonomian dunia. Krisis global disebabkan oleh krisis subprime mortage di Amerika Serikat pada tahun 2007 semakin dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk negara berkembang pada tahun 2008. Pada masa krisis ini, negara-negara yang belum pernah terkena krisis keuangan tidak dapat menghindari penularannya, seperti Belanda, Perancis, Jerman, dan Singapura. Sejumlah kebijakan yang sangat agresif di tingkat global telah dilakukan untuk memulihkan perekonomian. Di Amerika Serikat, sebagai episentrum krisis, kebijakan pemerintah baru yang menempuh langkah serius untuk mengatasi krisis, menjadi faktor positif yang dapat mengurangi pesimisme akan resesi yang berkepanjangan dan risiko terjadinya depresi.

Di Indonesia, imbas krisis mulai terasa terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008. Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan, September 2008 dari level Rp9.000 per dolar AS , rupiah menembus angka Rp12.650 per dolar AS pada Nopember 2008. Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) sudah barang tentu membuat panik perusahaan-perusahaan nasional yang masih mengandalkan ekspor dengan bahan baku impor.

Pusaran krisis global itu paling dekat menghajar bursa saham dan pasar keuangan. Krisis keuangan global tersebut menyeret kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI, hingga penutupan akhir tahun 2008, IHSG terkoreksi hingga 10,38% atau menyentuh 1.451,7 yang membuat otoritas bursa mensuspen perdagangan efek dan derivatif hingga 10 Oktober 2008. Langkah suspen 2 (dua) hari kerja ini dimaksudkan untuk melindungi investor lokal agar tak merugi lebih dalam, penurunan terrendah pada akhir 2008 berada pada level Rp 1111,39. Lebarnya rentang tertinggi dan terendah ini adalah lebih dari dari dua kali lipat, hal ini menunjukkan adanya fluktuasi tajam dalam IHSG pada tahun 2008.

Terjadinya krisis politik di timur tengah dapat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dunia, hal ini ditandai dengan meningkatnya harga minyak dunia, pada kontrak New York, minyak mentah jenis light sweet hampir mencapai USD 93, hal ini juga yang menunda pembatasan BBM yang seyogyanya akan diberlakukan pada bulan April mendatang.,manakala pembatasan BBM bersubsidi tetap diberlakukan dikhawatirkan akan berdampak padakenaikan inflasi dan gejolak sosial. dengan demikian pemerintah perlu berhati-hati dan mewaspadai dengan terjadinya krisi politik di timur tengah tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar